Senin, 31 Oktober 2011

K.H. Abdul Wahid Hasyim

Menyoal al-Maghfur lah K.H. Abdul Wahid Hasyim (selanjutnya penulis sebut Kyai Wahid), laksana menyoal ruang tengah dalam sebuah bedug atau kendang. Seperti kosong. Pada satu sisi kulit kendang adalah al-Maghfur lah Hadratus Syaikh Kyai Haji Hasyim Asy’ari, sebagai pribadi yang telah mengukir jiwa raganya. Tidak lain adalah ayahnda tercinta, guru sejati dalam berbagai aspek, sosial politik, keagamaan, dan ilmu pengetahuan. Ratusan buku, jutaan murid telah terlahir dari ukiran sang pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama ini. Ribuan pesantren yang tersebar di Nusantara tidak lepas dari ”washilah” yang beliau taburkan.
Pada sisi kulit yang lain adalah putranda tercinta, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Ke-4 RI. Gus Dur inilah yang merupakan saksi hidup atas wafatnya Kyai Wahid dalam peristiwa kecelakaan dalam usia yang sangat muda, 39 tahun. Beliau bukan hanya seorang negarawan, tetapi juga seorang pemikir yang mencerahkan yang menginspirasi berbagai kalangan. Meskipun tidak sedikit kalangan yang baru memahami dan membuktikan pemikiran beliau lima tahun kemudian. Jutaan pengikut fanatik meyakini bahwa Gus Dur bukan hanya sekedar manusia biasa. Kiprahnya dalam melakukan advokasi terhadap kelompok minoritas, dan perjuangannya dalam membumikan demokratisasi di negeri ini, seperti memahami pemikirannya, baru beberapa tahun kemudian orang bisa merasakan manfaatnya. Kenyataan tersebut semakin melengkapi bahwa Gus Dur terlahir dari seorang Bapak yang tidak sembarangan. Trahing kusuma rembesing madu, keturunan bunga (bangsawan) mengalirkan madu, demikian orang Jawa menyebutkan.
Namun sebuah bedug tidak akan mengeluarkan bunyi tanpa adanya ruang kosong. Kekosongan (emptiness) itu bukan tidak berarti apa-apa (meaningless). Sebaliknya, kekosongan itu justru yang menentukan suara bedug berbunyi bertalu-talu, ia menjadi penentu semuanya bermakna dan sangat penting. Karena kekosongan itu adalah realitas sejati (awang uwung), yang mengisi negeri ini. Meminjam istilah dalam Buddisme the emptiness is reality, kekosongan itu adalah nyata, sesungguhnya. Dan itulah K.H. A. Wahid Hasyim. Kekosongannya itu adalah kenyataan yang sesungguhnya, yang menjadikan suara bedug negeri ini berbunyi merdu.
Terlepas dari semua kisah orang tentang KHA yang membahas tentang kiprah dan sepak terjangnya dalam membidani lahirnya dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada sisi lain yang mungkin jarang diungkap secara lebih komprehensif, tentang sikap luhurnya yang melampaui banyak manusia. Sikap yang mencerminkan kedalaman batin seorang sufi yang tidak hanya asik dalam untaian tasbih, tetapi senantiasa bertasbih yang tercermin dalam keputusan-keputusan politiknya. Pancasila, Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) RI, dan PTAIN, adalah tiga hal menjadi bukti atas semua itu. Untuk membatasi tulisan ini, setidaknya dari tiga warisan Kyai Wahid tersebut, penulis hanya memilih Pancasila sebagai titik pijaknya.
A. Kearifan Puncak Spiritual
Membicarakan Pancasila sebagai dasar NKRI tidak bisa memisahkannya dari Kyai Wahid. Sekedar untuk menegaskan bahwa hubungan Pancasila dengan Kyai Wahid laksana seorang designer dengan baju hasil karyanya; atau seorang artis dengan karya seninya. Sangat dekat, tak terpisahkan. Karena itu, ketika Pemerintah Orde Baru menerapkan Asas Tunggal Pancasila, Nahdlatul Ulama sebagai – representasi Organisasi Sosial Keagamaan – satu-satunya organisasi yang mendukung pemerintah saat itu. Langkah yang ditempuh oleh NU merupakan langkah yang sangat tepat, karena sejak dari permulaan kelahiran Dasar Negara tersebut NU – yang diwakili oleh Kyai Wahid – merupakan kartu trope yang menentukan. Hingga akhirnya, Pancasila – dengan penghapusan tujuh kata yang tertulis pada Piagam Jakarta – bisa diterima oleh umat Islam Indonesia.
Dengan menggunakan logika formal kenegaraan, Pancasila sama seperti dasar Negara lain yang ada pada setiap Negara di dunia ini. Namun ketika Pancasila dikaitkan dengan siapa di balik kelahirannya, Pancasila merupakan manifestasi karya seorang sufi yang mempunyai ketajaman mata batin yang luar biasa. Pancasila meliputi dua keistimewaan, yaitu pertama istimewa pada susunan dan kandungan filosofinya; dan kedua mengandung kekuatan yang bisa menyatukan bangsa dari berbagai latar belakang. Bahkan Pancasila – meminjam penggalan judul buku Peter L Berger – merupakan payung suci (sacred canopy). Payung yang mengayomi bangsa Indonesia dalam realitas multi etnik, agama, dan budaya. Di bawah bayangan sejuk Pancasila itu bangsa Indonesia yang mempunyai realitas ganda, unity in multiplicity dan multiplicity in unity hidup dalam keharmonisan.
Memang diakui tidak banyak tulisan yang membahas pemikiran atau ajaran tentang spiritualitas yang diajarkan oleh Kyai Wahid. Bahkan tidak seorang pun bisa mengidentifikasikan secara spesifik tarikat (thariqah, spiritual path) yang Kyai Wahid ikuti. Tulisan yang ada lebih banyak menyoroti kiprah beliau dalam keterlibatannya pada wilayah politik praktis di negeri ini. Dari keterlibatan langsung itu di mata kawan sejawatnya, Kyai Wahid mendapat apresiasi positif yang sangat tinggi.
H. M. Isa Anshary, ketua Persatuan Islam (Persis) saat itu mengatakan bahwa Wahid Hasyim adalah sosok pemimpin yang tenang dan dapat menyatukan berbagai apresiasi. Melalui penyandingannya dengan M. Natsir, Isa Anshary menegaskan bahwa Natsir memiliki kejernihan dan ketajaman analisa, maka Wahid Hasyim memiliki pengetahuan dan kemampuan berorganisasi.
Sikap tenang yang terpancar dari diri beliau dan kepandaiannya dalam menyatukan aspirasi, merupakan cerminan dari kedalaman batin seorang Kyai Wahid. Artinya Kyai Wahid bukan hanya sekedar berhenti pada keyakinan bayani (‘ilm al-yaqin, the knowledge of certainty) dan keyakinan burhani (‘ain al-yaqin (the eye of certainty), tetapi beliau telah melampuai keduanya. Yaitu berada pada keyakinan sejati atau ‘irfani (haqq al-yaqin, the truth of certainty). Suatu tahap keyakinan al-haqq fi al-khalq atau al-khalq fi al-haqq. Sikap, sifat, dan ‘azzam seorang Kyai Wahid adalah dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.
Tentang kekayaan pengetahuan dan kemampuan Kyai Wahid dalam berorganisasi merupakan cerminan tanggung jawabnya bukan hanya ingin mendapatkan ketenangan batin dalam dirinya sendiri, melainkan ketenangan batin yang bisa dirasakan oleh bangsa Indonesia.
Pada tahap keyakinan irfani inilah hal terbaik yang dilakukannya adalah melayani dan melindungi semua golongan dalam bingkai Negara Kesataun Republik Indonesia. Dan Pancasila menjadi bukti semua itu.
Secara lisan Kyai Wahid menguasai tiga bahasa asing, Arab, Belanda, dan Inggris. Selain juga beliau menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Setidaknya melalui tiga bahasa asing tersebut Kyai Wahid bukan saja telah melakukan cross cultural understanding, sumber kearifan (wisdom) itu datang dari manapun. Tetapi anggota BPUPKI ini bahkan telah melakukan passing over (melintasi batas agama), dan Pancasila merupakan representasi paling nyata kepribadian luhur Kyai Wahid.
Ragam bahasa dan budaya telah mengantarkan Kyai Wahid melintasi kearifan universal dan kebenaran
Selain itu Pancasila dalam konteks kesufian Kyai Wahid merepresentasikan seorang sufi yang inklusif. Sufi yang tidak mengutamakan ketenangan dan ketenteraman batinnya sendiri tetapi sufi yang juga mengutamakan ketenangan dan ketenteraman batin umat seagama dan bahkan umat yang berbeda agama.
Bila hal-hal di atas merupakan manivestasi seorang sufi, lantas dari mana Kyai Wahid belajar tasawuf? Padahal beliau senantiasa sibuk dalam membaca dan berorganisasi?
Dalam sejumlah dokumen tentang riwayat hidup Kyai Wahid, dituliskan beliau tidak pernah lama menjadi santri pada pondok pesantren yang pernah ditempatinya. Rata-rata hanya 25 hari, itu pun pada bulan Ramadhan. Siapakah Guru Sejatinya? Guru sejati Kyai Wahid tidak lain adalah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Tidak ada yang lain. Tampaknya, beliau dalam kehidupan Kyai Wahid adalah guru dalam berbagai aspeknya.
Tentang ajaran tasawuf yang menjadikan Kyai Wahid melampau prestasi manusia biasa, bisa dipastikan beliau terima dari ayahnda tercinta. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Agus Sunyoto bahwa kakek Agus Sunyoto mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Kakeknya – yang merupakan santri angkatan pertama dari Tebu Ireng Jombang Jawa Timur – ini memperoleh ilmu Siti Jenar dari K.H. Hasyim Asy’ari. Fenomena tersebut diperkuat dengan penelusurannya ke beberapa sumber yang menjelaskan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari mengajarkan Ilmu Siti Jenar.
Dari mana Hadratus Syaikh memperoleh ajaran sufi – monisme dan pantheisme – Jawa tersebut?
Untuk menjawab pertanyaann tersebut perlu kiranya merujuk kembali pada asal-usul nenek yang Kyai Wahid. Kakek beliau, Hadratus Syaikh adalah keturunan langsung Jaka Tingkir (Mas Karebet). Mas Karebet adalah anak kandung dari Ki Kebokenonga (Ki Ageng Pengging). Ki Ageng Pengging adalah keturunan dari Raja Brawijaya V. Disebut Ki Ageng Pengging, karena ia tinggal di sebuah tempat bernama Pengging. Penyebutan nama tokoh dengan menggunakan tempat tinggalnya merupakan sesuatu yang lumrah dalam banyak tradisi, terutama dalam tradisi sufi. Hal itu menunjukkan nama dan tempat/wilayah “kekuasaannya”.
Masih menurut Babad Pajang, sebenarnya kelahiran Mas Karebet bagi Ki Kebokenanga merupakan peristiwa yang luar biasa. Karena pernah empat kali istrinya melahirkan, empat kali itu pula anak-anak tersebut meninggal. Tampaknya untuk menjaga Mas Karebet dari peristiwa yang menimpa kakak-kakakkanya, Ki Kebokenanga menyerahkan Mas Karebet ini kepada Ki Kebokanigara (Ki Ageng Tingkir) agar diasuh dan dididik.
Berikut bait-bait yang menceritakan kelahiran mas Karebet.
Ing dalu ari riringgitan, Sira Ki Ageng ing Pengging, Anyugata mring kang raka, Pan ringgit beber sawengi, Semana ambarengi, Garwanira wawrat sepuh, Lair ingkang wawratan, ing sasi jumadilakir, Tanggalipun ping wolu nuju tahun dal.
Artinya:
Pada saat malam mengadakan pertunjukan wayang, Ki Ageng di Pengging, untuk menghibur kakaknya, berupa wayang beber satu malam, saat itu bersamaan, istri Ki Ageng Pengging hamil tua, lahirlah bayi dalam kandungan itu, pada bulan Jumadilakhir, tanggal delapan pada tahun dal.
Sareng mangsane kalima, Ing dinane Rebo legi, Ing wayah bangun raina, Miyos jalu warna pekik, Mapan Ki Ageng Tingkir, Medalken beng-embengipun, Kyageng Kebokenanga, Langkung sukanireng ing galih, Wong nenonton wayang beber kagegeran.
Artinya:
Bersamaan musim kelima, pada hari Rabu Legi, di pagi hari, lahir laki-laki ganteng wajahnya, adapun Ki Ageng Tingkir, mengeluarkan ari-arinya, Ki Ageng Kebokenongo, sangat senang hatinya, orang yang menoton wayang pada ribut/gaduh.
Ana kekuwung geng prapta, Tetiga anyerot kali, Garimis bareng sakala, Ngandika Ki Ageng Tingkir, Yayi putranireki, ingsun paringi jejuluk, Mas Karebet Namanya, dene teka amarengi, ing laire wayang beber ingsun tanggap.
Artinya:
Ada pelangi datang, berjumlah tiga (seakan) menyedot sungai, bersamaan hujan gerimis, berkata Ki Ageng Tingkir, adinda anakmu ini, aku beri nama, namanya Mas Karebet, karena bersamaan, kelahirannya itu dengan wayang beber yang aku tanggap.
Kang rayi alon turira, anuwun langkung prayogii, angsala sawab paduka, mugi kalisa ing sakit, kawula inggih darmi, paduka ingkang sesunu, mugi pinanjangena, yuswane kang jabang bayi, mugi-mugi tulusa nugrahaning hyang.
Artinya:
Adinda (Ki Ageng Pengging) berkata pelan, terima kasih semoga, mendapat rahmat, semoga dijauhkan dari sakit, saya hanya sekedar melahirkan sajam kakandalah yang berputra, semoga dipanjang, usia bayi ini, semoga rahmat Tuhan tulus padanya.
Kelak pada masa perkembangannya Mas Karebet yang dikenal dengan Jaka Tingkir menjadi menantu Sultan Trenggana. Karena konflik politik, kemudian pindah ke Pajang (masuk wilayah Kartasura) dan menjadi raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Secara geografis letak antara Pajang dengan Pengging berjarak sekitar 10 km.
Dalam catatan Serat Siti Jenar – buku yang diyakini menjadi rujukan ajaran Syekh Siti Jenar – Ki Ageng Pengging (yang masih menganut Hindu-Buddha) saling berguru (guru ginuru) dengan Syekh Siti Jenar (esoterisme Islam). Mereka saling berbagi dan menimba ilmu (ngangsu kawruh) satu sama lain. Hingga keduanya menemukan titik temu (meeting point) yang terwujud dalam bait tembang berikut ini:
Kacarita sang Sèh Siti Abrit, dènya anèng Pengging tigang dina, tansah saraséhan baé, lawan kiyageng nutug, dènya ngraras sarasèng ngèlmi, kawruh Buda lan Islam, semuné ajumbuh, samana Sèh Siti Jenar, dyan minta mit mring raka kiyageng Pengging, kondur mring Krendhasawa.
Artinya:
Dikisahkan Syekh Lemah Abang (Syekh Siti Jenar), berada di Pengging selama tiga hari, selalu melakukan sarasehan, dengan Ki Ageng Pengging sampai tuntas, dalam memahami makna ilmu, pengetahuan Buddha dan Islam, sepertinya saling bersesuaian, begitulah Syekh Siti Jenar, mohon izin kepada Ki Ageng Pengging, pulang ke Krendhasawa.
Dalam studi yang penulis lakukan terhadap Serat Siti Jenar karya Raden Mas Ngabehi Mangunwijaya, terungkap bahwa ciri tasawuf Siti Jenar adalah sebagai berikut:
1) Egaliter
Sikap egaliter dalam tasawuf ini tercermin dari gaya pengajaran dan karakter kesiswaan yang menjadi anggotanya. Dalam pengajaran tasawuf ini tidak mengenal hirarkhi antara guru dan murid. Setiap murid bisa menjadi guru, dan setiap guru bisa menjadi murid. Artinya siapa pun yang ikut dalam tasawuf ini satu sama lain saling belajar (guru ginuru)
Pola transmisi pengetahuan yang dilakukan oleh penganut Siti Jenar dengan cara sarasehan. Sarasehan seringkali diartikan dengan pertemuan yang diselenggarakan untuk mendengarkan pendapat (prasaran) para ahli mengenai suatu masalah di bidang tertentu. Kegiatan ini diselenggarakan dalam kesejajaran, mereka saling berhadap-hadapan, saling bertanya, saling menjawab, dan saling menerima uraian serta pengertian dari masing-masing kedua belah pihak. Akhir dari sarasehan bukan untuk mencari mana di antara agama dan keyakinan masing-masing yang paling benar, melainkan untuk menemukan titik temu (meeting point) dari keyakinan masing-masing.
Guru ginuru dan sarasehan di kalangan para penganut tasawuf Siti Jenar adalah untuk memasuki jantung agama (the heart of religion) sebagai puncak perjalanan rohani setiap orang. Dari puncak ini mereka selanjutnya menentukan sikap untuk membangun dan memantapkan keberadaan diri di hadapan dirinya sendiri, diri di hadapan orang lain, diri di hadapan penguasa, dan diri di hadapan Tuhan.
Tentang kesiswaan, siapapun – tanpa melihat status sosial dan latar belakang keagamaannya – bisa menjadi murid tasawuf Siti Jenar. Keragaman latar belakang budaya, agama, profesi, wilayah, genetik, dan status sosial bukan sebagai penghalang untuk mempelajari ilmu Syekh Siti Jenar, melainkan menjadi modal dalam menjalani tasawuf Syekh Siti Jenar.
2) Basis pelaku tasawuf Siti Jenar adalah pedesaan dan pertanian
Mereka hidup secara alami yang selalu berdekatan dengan pertanian. Mereka tinggal di desa-desa yang terpencil (mregil) dari perkotaan. Watak pedesaan dan pertanian (ulah tegalan) adalah watak alami apa adanya. Meminjam hirarkhi bahasa Jawa, masyarakat desa tidak mengenal bahasa krama madya dan krama inggil, melainkan bahasa Jawa ngoko. Karena setiap orang adalah sederajat. Setiap orang menjadi pengontrol satu sama lain, dan tidak dikendalikan oleh sekelompok masyarakat yang berada di atasnya secara sosial. Mereka ini membangun kehidupan surgawi bukan saja nanti di akhirat, tetapi kehidupan surgawi dirintis dan dijalani ketika mereka hidup di dunia ini. Representasi sederhana dari gambaran surgawi adalah terlihat pada kehidupan mereka yang hidup bercocok tanam atau berkebun. Surgawi (jannah) gambaran ideal dari suatu realitas yang terus mengalami kebaruan. Kebaruan yang memacarkan harmoni keindahan alam semesta yang terus tumbuh dan berkembang yang berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Kebaruan itu tumbuh secara alami nir-rekayasa.
Al-Qur’an dalam banyak ayat menggunakan istilah surga dengan sebutan al-jannah (kebun). Di antara gambaran surga adalah: (1) para penghuninya berseri-seri (ceria) mukanya. Keceriaan ini mereka peroleh dari upaya yang mereka lakukan dengan penuh suka cita (ra>d}iyah); (2) perkataan yang keluar dari mulut mereka berupa ungkapan-ungkapan yang bermanfaat; (3) mereka berada pada tepi mata air (wellspring) yang mengalir; (4) mereka disediakan dengan fasilitas tahta yang luhur, gelas-gelas di dekatnya, bantal-bantal yang tersusun, dan permadani yang terhampar.
Sementara itu, lawan dari surga adalah neraka (na>r, api). Watak api adalah membakar dan memusnahkan. Membumihanguskan apapun yang dijumpainya. Watak api inilah yang dihindari oleh tasawuf Siti Jenar. Mereka akan membiarkan seluruh tradisi yang ada dan tumbuh di tengah masyarakat, selama semuanya mengacu dan mendukung pada keharmonisan dan keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan keyakinannya (Tuhan). Ketidakharmonisan dan ketidaksembangan itulah kesengsaraan (neraka) bagi umat manusia. Seluruh yang tersedia baik minuman tidak melepaskan manusia dari rasa haus, dan makanan tidak memulihkan mereka dari lapar. Semua dalam keadaan tertekan dan terhina.
3) Menggunakan bahasa dan simbol-simbol lokal masyarakat
Bahasa lokal dan simbol-simbol budaya mereka gunakan sebagai perantara untuk menjelaskan pengertian-pengertian sufistik-filosofis kepada sesama anggota. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa, di dalamnya terdapat bahasa Kawi dan Sanskerta. Sementara bahasa Arab yang digunakan pun harus diucapkan dalam aksen Jawa yang sangat kental. Simbol-simbol yang digunakan adalah simbol-simbol Hindu dan Budha yang telah terlebih dahulu tumbuh dan berkembang dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Penggunaan kata sanggar, sang wiku, siswa, pendhita, dan lain-lain adalah kata yang biasa digunakan dalam tradisi keagamaan Hindu dan Budha.
Tasawuf Siti Jenar bukan memberi sesuatu yang sama sekali baru pada manusia. Tasawuf ini mengantarkan para pengikutnya untuk mengenal lebih dekat pada diri manusia yang sejati, diri yang terus menjadi sumber kebaruan. Diri yang sudah ada sejak mereka belum diciptakan hingga menjadi manusia. Karena itu, bahasa dan simbol-simbol yang digunakan dalam proses pengajaran tasawuf Siti Jenar adalah bahasa dan simbol-simbol yang digunakan dan dipahami oleh masyarakat. Konskuensi dari model seperti ini menjadikan tasawuf Siti Jenar lebih populer daripada tasawuf yang diajarkan dengan menggunakan bahasa asing.
4) Tidak fanatik pada kekuasaan
Secara sosial politik mereka tidak menganut atau menjadi anggota fanatik pada penguasa tertentu. Karena ketaatan pada penguasa menjadikan diri mereka diperintah oleh selain Allah. Mereka hanya mau diperintah oleh Allah. Akibat dari sikapnya ini, para penganut paham tasawuf Siti Jenar dianggap membangkang terhadap penguasa. Apalagi model rekrutmen keanggotaannya yang terbuka dan bebas juga menjadi salah satu ancaman bagi kewibawaan status quo. Logika politik penguasa adalah centralistik. Karena itu, munculnya kelompok yang tidak tunduk pada kekuasaan dianggap sebagai bentuk perlawanan.
Selain itu, tasawuf Siti Jenar menolak konsep manunggaling kawula Gusti itu terjadi pada manusia, yaitu antara rakyat dan dengan penguasa. Manunggaling kawula Gusti terjadi antara manusia dengan Tuhan ketika manusia masih di dunia ini. Ketika manusia telah meninggal dunia, akan kembali pada Tuhan. Pada saat bersama Tuhan itu, tidak ada lagi kawula Gusti. Konsep manunggaling kawula Gusti pada manusia justru menjadi wadah berlangsungnya kasta-kasta sosial politik di tengah masyarakat. Kenyataan justru mempertahankan praktek penjajahan manusia atas manusia. Penjajahan itulah yang menjadikan manusia semakin terbelenggu dan tidak punya kepribadian.
Tampaknya secara implisit, penolakan tasawuf Siti Jenar terhadap paham manunggaling kawula gusti yang terjadi pada manusia sekaligus menyatakan penolakan adanya paham bahwa pemimpin merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Artinya dalam kasus Tuhan tidak harus diwakili. Meminjam istilah yang digunakan oleh Gus Dur, Tuhan tidak perlu dibela. Sebaliknya, yang harus dibela dan diperjuangkan adalah manusia hari ini dan yang akan datang. Karena menanamkan paham wakil Tuhan di muka bumi hanya akan menyediakan ruang gelap yang menjadi tempat persembunyian bagi kaum pecundang – yang sering mengatasnamakan agama – dalam mengelabuhi orang lain. Singkatnya, setiap manusia harus mempertanggungjawabkan diri dan perbuatannya bukan nanti di akhirat (hidup setelah mati), melainkan saat hidup di dunia ini. Sementara urusan akhirat sesungguhnya, adalah urusan Tuhan.
5) Menolak organized religion sebagai agama resmi penguasa
Tampaknya mereka yang beranggapan bahwa agama yang menjadi bagian dari instrumen kekuasaan tidak untuk dijadikan sebagai jalan ketundukan dan kepatuhan pada Tuhan serta spirit pemberian pelayanan maksimal pada kaum papa, melainkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan atas nama agama.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa (dan Nusantara pada umumnya), yang tumbuh di atas bangunan semangat agama-agama besar dunia, institusi agama tertentu yang dijadikan sebagai bagian dari kekuasaan akan terus mendapat penolakan dari masyarakat. Semangat penolakan ini kembali mengemuka secara nasional ketika muncul keinginan dari kalangan umat Islam untuk memasukkan tujuh kata dari pasal 29 UUD 1945, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Hal lain yang paling nyata dalam perpolitikan di Indonesia, sedikitnya jumlah konstituen yang menjatuhkan pilihannya pada partai-partai berbasiskan agama, terutama agama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa istitusi agama yang dibawa ke dalam wilayah politik tidak akan mengundang simpati dari kalangan masyarakat, meskipun dari kalangan umat yang seagama dengan partai politik yang menggunakan identitas agama itu.
6) Menolak Masjid sebagai tempat Konsulidasi Kekuasaan
Terkait dengan penolakan terhadap masjid, tampaknya pendukung tasawuf Siti Jenar memahami bahwa masjid bukan untuk digunakan membangun satu kesepahaman politik, budaya, dan keagamaan. Masjid sepenuhnya digunakan sebagai tempat menimba ilmu dan beribadah pada Tuhan. Masjid menjadi sarana fisik untuk membangun kepatuhan dan ketundukan diri seseorang pada Tuhan.
Masjid yang digunakan untuk membangun loyalitas politik tidak diterima oleh tasawuf Siti Jenar. Karena masjid yang demikian penuh dengan kebohongan dan manipulasi. Mesjid demikian hanya untuk menguburkan kebaikan orang-orang suci dan menjadi monumen kebaikan nila-nilai luhur yang diajarkan oleh agama. Masjid yang demikian bukan sebagai tempat suci untuk mendekatkan diri manusia dengan Tuhannya, melainkan jusru menjauhkan diri manusia dari Tuhan bahkan menceburkannya dalam lingkaran kekuasaan yang mudah menggoda untuk melakukan siasat dan tipu muslihat.
Tasawuf Siti Jenar menjadikan masjid – sebagaimana sanggar dan langgar – sebagai tempat menimba ilmu sejati. Ilmu yang bisa mencerdaskan secara intelelektual, emosional, dan spiritual. Ilmu yang bisa menyingkap rahasia alam semesta untuk membangun kehidupan yang harmonis antar umat manusia dari berbagai latar belakang agama dan kebudayaan. Ilmu yang menjembatani keharmonisan antara jagad cilik (microcosmos) dengan jagad gedhe (macrocosmos).
7) Nyawa Guru adalah Nyawa Murid
Hal ini terkait dengan ciri yang pertama, egaliter. Hubungan guru dengan murid tidak hirarkhis. Pada tataran ini bisa dipahami bahwa hubungan yang sejajar itu menunjukkan hubungan yang sangat dekat. Penderitaan sang Guru adalah penderitaan murid, kebahagiaan sang guru adalah kebahagiaan murid. Karena itu, kematian Syekh Siti Jenar dan Ki Kebokenanga juga diikuti oleh para murid-murid mereka (bela pati). Karena bagi mereka mati bukanlah akhir dari semua kehidupan, melainkan awal masuknya hidup abadi. Antar guru dan murid tidak ada loyalitas hirarkhis yang menjadikan mereka satu sama lain saling menghormati sesuai dengan etika umum.
Dalam konteks perpolitikan di Indonesia sejumlah konstituen partai Politik, berkeyakinan hidup mati bersama sang pemimpin partai. Karena pemimpin ini diyakini lahir dari masyarakat biasa, atau sekurang-kurangnya sang pemimpin ini memahami dan menghayati nasib kehidupan rakyat. Karenanya, mereka juga menyebut pemimpin demikian sebagai “pemimpinnya wong cilik, the leader of lay people.”
Uraian tentang puncak kearifan spitual di atas tampaknya yang menjiwai Kyai Wahid, dengan tetap berpegang teguh realitas continuity and change. Sikap inilah yang meneguhkan beliau sebagai orang Jawa Islam yang otentik. Di antara letak Otentisitas pada beliau adalah karena menganut progressive syncretism, atau yang lebih popular dengan kalimat “al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah.”
B. Kearifan Puncak Bernegara
Kiprah politik Kyai Wahid dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Bahkan peran sertanya sudah diawali sebelum Indonesia merdeka, terutama dalam mempersiapkan dan memantapkan dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila. Bahkan ketika terjadi gonjang-ganjing dan tarik menarik antara umat Islam dengan non Islam seputar tujuh kata “menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” sifat kearifan bernegara Kyai Wahid begitu jelas. Muhammad Hatta – Wakil Presiden RI Pertama – mengakui bahwa salah seorang yang dipandang berpengaruh dalam kesepakatan penghapusan tujuh kata tersebut adalah Kyai Wahid Hasyim. Pengakuan ini memperkuat kesaksian H.M. Isa Anshary – Ketua Persatuan Islam (Persis) – bahwa sosok pemimpin yang tenang dan dapat menyatukan berbagai apresiasi.
Apa yang dilakukan oleh Kyai Wahid dalam bernegara (exoteric participation) tidak terlepas dari kedalaman dan kematangan kebatinannya (esoteric experience). Artinya bahwa baik dalam urusan batin dan urusan lahir terhubung dan terbangun secara konsisten. Tampaknya hal itu terjadi karena kesadaran akan pluralitas sebagai suatu keniscayaan pada diri Kyai Wahid. Hal itu bisa dibuktikan dengan kiprah beliau dalam menguasai lebih tiga bahasa yaitu Jawa, Indonesia, Arab, Inggris, dan Belanda.
Realitas plural tersebut yang memperkokoh komitmen budaya sebagaimana dalam kaidah fiqh, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, menolak kerusakan lebih utama daripada menarik (mendatangkan kemaslahatan). Pada kaidah tersebut terkandung semangat koeksisten dan proeksisten.
Sikap koeksistensi adalah hubungan antar umat yang berbeda agama di mana masing-masing pemeluk agama (yang berbeda) itu harus menerima kehadiran pemeluk agama lain di samping dirinya sendiri dengan segala kegiatannya. Dalam toleransi koeksistensi semacam ini masing-masing umat beragama tahu bahwa ada umat yang memeluk agama lain bertemu dengannya. Karena itu masing-masing pihak dari berbagai kelompok etnis, agama, kebudayaan, serta arah politiknya harus menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing.
Pada tingkat koeksistensi ini mengandung kelemahan, karena masing-masing kelompok masih menonjolkan kelompoknya. Sikap koeksistensi ini memang memberi manfaat dan kebaikan pada masing-masing kelompok, tetapi masih berkisar pada manfaat dan kebaikan yang bersifat eksklusif. Semangat hidup koeksistensi ini mirip dengan kaidah jalb al-mashalih mendatangkan kemaslahatan. Kemaslahatan memang baik tetapi mendatangkan kemaslahatan bisa menimbulkan ekses-ekses negatif, karena suatu kebaikan tidak bisa dipahami sebagai kebaikan universal. Artinya jalb al-mashlahah atau sikap koeksistesin mengandung kebaikan parsial. Di mana definisi dan standar kebaikan ditentunkan oleh satu kelompok tertentu. Kecenderungan sikap koeksistensi ini bisa membahayakan, dan bisa menjadi benih permusuhan bahkan tindakan anarkhis yang bisa menimbulkan korban jiwa.
Tampaknya sikap koeksistensi disadari betul oleh Kyai Wahid. Maka langkah lanjut yang beliau lakukan adalah membangun kesadaran dan tindakan atau sikap pro-eksistensi. Pro-eksitensi merupakan suatu kesadaran bahwa agama-agama ada bukan hanya untuk dirinya sendiri atau saling ada, melainkan ada untuk keberadaan dan kehidupan bersama. Semua pihak saling bergantung, dan keberadaan bersama sangat ditentukan oleh saling ketergantungan itu. Sikap ini terlihat begitu nyata dan sangat luhur ketika Kyai Wahid menerima penghapusan tujuh kata pada Piagam Jakarta. Dua alasan yang dikedepankan ketika Kyai Wahid menerima penghapusan tujuh kata tersebut, yaitu: pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam; kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah Negara yang baru memproklamasikan sehari sebelumnya. Seperti telah diketahui bersama jika tujuh kata pada Piagam Jakarta tersebut dipertahankan, masyarakat yang beragama Kristen di Indonesia bagian timur keberatan bergabung dengan Republik Indonesia.
Dengan kata lain, Pancasila hari ini merupakan warisan suci (sacred legacy) yang dititipkan oleh Kyai Wahid kepada bangsa Indonesia pada umumnya, dan kepada kaum Nahdliyin pada khususnya. Karena warisan suci itu dibangun dalam kesadaran dar’ul mafasid bukan pada jalbi mashalih. Inilah cerminan nyata puncak kearifan bernegara Kyai Wahid. Semangat dar’ul mafasid adalah semangat pro-eksistensi. Menolak kerusakan sudah pasti mendatangkan kemaslahatan. Karena dalam menghindari kerusakan sudah pasti yang diperhatikan bukan hanya kelompoknya saja, tetapi kelompok lain yang hidup bersama yang saling menaruh ketergantungan. Tampaknya, cara Kyai Wahid dalam mengambil sikap itu sangat brelian. Kyai Wahid telah melakukan – meminjam Abou El Fadhl – langkah-langkah: melakukan kontrol dan mengendalikan diri (self-restraint); bersungguh-sungguh; mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness); mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness); dan menjunjung tinggi kejujuran (honesty).
C. Penutup
Demikian tulisan yang diupayakan untuk menggarisbawahi pemikiran dan warisan suci Kyai Wahid. Semua warisan itu tidak lain terbangun dari kesadaran yang membumi di kalangan kaum Nahdliyin dalam bingkai al-muhafazhah ’ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah. Pada doktrin ini lebih meneguhkan pada komitmen dan pemikiran abadi. Dan dalam bingkai dar’ al-mafasid muqaddamun ’ala jalb al-mashalih. Pada doktrin yang kedua ini lebih meneguhkan pada aksi nyata dalam keragaman pro-eksistensi lebih diutamakan daripada koeksistensi. Dan Pancasila – melalui sumbangan Kyai Wahid – dibangun dalam semangat kedua doktrin di atas. Wallahu a’lam bi muradihi.
DAFTAR BACAAN
Abdul Munir Mulkhan, Makrifat Siti Jenar: Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik, Jakarta: Grafindo Khasanah Ilmu, 2004.
Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa, cet. ke-5, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2009.
Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komarudin Hidayat & Ahmad Gayus AF, (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 51-76.
Abu al-Wafa al-Ganimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, cet. ke-2, Bandung: Penerbit Pustaka, 1997.
Agus Sunyoto, “Siti Jenar Dianggap Provokator Kesadaran”, Wawancara 21 Mei 2007, Jaringan Islam Liberal, http://islamlib.com.
‘Ali Ibn Us\man al-Hujwiri, Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M., cet. ke-4, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, cet. ke-4, Bandung: Mizan dan ANTV, 1998.
Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi): the Mystical Language of Islam, Kuala Lumpur:A.S. Noordeen, 1995.
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono, et.al., cet. ke-1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Aris Fauzan, “Ajaran Tasawuf dalam Serat Siti Jenar: Telaah Kritis atas Serat Siti Jenar Karya Sunan Giri Kadhaton”, Tesis, Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Aris Fauzan, “Ingsun Misteri Ajaran Syekh Siti Jenar,” Afkaruna, Vol. III no, 2 Juli-Desember 2005, hlm. 35-54.
Babad Jaka Tingkir Babad Pajang, terj. Moelyono Sastranaryatno (Jakarta: Departemen Pendidikann dan Kebudayaan, 1981), hlm. 119.
Elyasa KH. Dharwis, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Hamim Ilyas & Aris Fauzan, ”Islam-Kristen Indonesia: Menegakkan Payung Ibrahim,” dalam Hendri Wijayatsih, Memahami Kebenaran Yang Lain Sebagai Upaya Pembaharuan Hidup Bersama, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Joko_Tingkir
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Departemen Pendidikan & dan Balai Pustaka, 1995), hlm. 881.
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fikih dan Politik (Jakarta: Gtamedia, 1998), hlm. 286.
M. Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan,” Sebuah Pengantar, dalam Khalid Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. xiii-xiv.
Moch. Choirul Arif, ”Dakwah dalam Perspektif K.H. Abdul Wahid Hasyim,” Jurnal Ilmu Dakwah, vol. 4, No. 1, April 2001.
Panji Natarata, Serat Siti Jenar, Jogjakarta: Kulawarga Bratakesawa, 1958.
Penerbit Kulawarga Bratakesawa, “Prasaben”, Sasrawijaya, Serat Siti Jenar, Jogjakarta: Kulawarga Bratakesawa, 1958.
R. Tanojo, Suluk Wali Sanga, Surkarta: Djuru Paniti Pustaka, 1954
R.M. Ngabehi Mangunwijaya, Serat Siti Jenar (Wetervreden: Pakempalan Widyas Pustaka, 1917), hlm. 9.
S. Wismoady Wahono, Pro-Eksisteni: Kumpulan Tulisan untuk Mengacu Kehidupan Bersama, cet. ke-1 (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), hlm. 7.
Saiful Umam, “K.H. Wahid Hasyim: Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi”, dalam Azyumardi Azra, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (Jakarta: PPIM, 1998), hlm. 102.
Sasrawijaya (ed.), Serat Sitidjenar, Jogjakarta: Kulawarga Bratakesawa, 1958.
Suluk Seh Siti Jenar, terj. Sutarti, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981
Suluk Wali-wali Tanah Jawa, alih aksara dan terj. Muhammad Kahfid dkk., Jakarta: Universitas Indonesia, 1993.

Rabu, 26 Oktober 2011

kyai-haji-hasyim-asyari-pendiri-nu





Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu.

Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.
Ide reformasi Abduh itu ialah
Pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.
Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas;
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern;
keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Keturunan Raja Pajang
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947.

Minggu, 23 Oktober 2011

GUS DUR & KH. A. MUSTOFA BISRI



 
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”.[2] Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas“.[2]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan[3]. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[4][5] Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[5] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.[5]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[6]. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.








KH. A. Mustofa Bisri,
KH. A. Mustofa Bisri, kini Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin Leteh Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Belajar di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, dan Universitas Al-Azhar Kairo, disamping di pesantren ayahnya sendiri, Raudlatuth Tholibin Rembang.
Disamping budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair. Karya-karyanya yang telah diterbitkan, antara lain, Dasar-dasar Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H), Ensklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa’aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994), Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993), Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996), Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995), Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997). dan juga Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997).
, kini Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin Leteh Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Belajar di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, dan Universitas Al-Azhar Kairo, disamping di pesantren ayahnya sendiri, Raudlatuth Tholibin Rembang.
Disamping budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair. Karya-karyanya yang telah diterbitkan, antara lain, Dasar-dasar Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H), Ensklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa’aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994), Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993), Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996), Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995), Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997). dan juga Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997).