1.
FATWA MUI
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., setelah
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., setelah
MENIMBANG
- bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;
- bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
MENGINGAT
- Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :
- “Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah [2]: 168).
- “(yaitu) orang yang mengikutRasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk… “(QS. al-A’raf[7]: 157).
- Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik! dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan panjang,………. ‘(OS.al-Baqarah[2] : 172).
- Kemudian Nabi menceritakan seoranglaki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit iaberdoa, ‘Ya Tuhan, ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt). Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan (komentar),’Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya”… (HR. Muslim dari Abu Hurairah), “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halas haramnya),kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR.Muslim).
- Hadis Nabi : “Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)-nya” (HR. Khat-iisa11),
- ()atidah finhiyyah ? Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya
- Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUIPeriode 2001-2005
- Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan :
- Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtajila Ma’rifah Alfadza-al-Minhaj, (t.t : Dar’al -Fikr,t.th) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian “Binatang laut/air ,dan halaman 151- 152 tentang binatang yang hidup dilaut dan didaratan
- Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib a;-Syarbainidalam Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al-Minhaj, (t.t ar Al-Fikr, T.th), juz IV Hal 297 tentang pengertian “binatanglaut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawi dalamMinhaj Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta alasan (‘illah) hukum keharamannya yang dikemukakan ole hal-Syarbaini :
- Pendapat Ibn al’Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr,1992), Juz lll, halaman 249 tentang “binatang yang hidup di daratan dan laut”
- Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggota Komisi Fatwa) dalam makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasanyang disampaikannya pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29 Mei 2002 M. / 16 Rabi’ul Awwal 1421 H.
- Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylllaspp) dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada RapatKornisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002M. antara lain sebagai berikut :
- Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yaitu :
- Scylla serrata,
- Scylla tranquebarrica,
- Scylla olivacea, dan
- Scylla pararnarnosain.
Keempat jenis kepiting bakau ini
oleh masyarakat umum hanya disebut dengan “kepiting”.
1. Kepiting adalah jenis binatang
air, dengan alasan:
- Bernafas dengan insang.
- Berhabitat di air.
- Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.
2. Kepiting termasuk keempat,jenis
di atas(lili._angka 1) hanya ada yang :
- hidup di air tawar saja
- hidup di air taut saja, dan
- hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.
Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat
tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air
tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan di
darat :
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING
- Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia.
- Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana, mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak
yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk
menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal
: 4 Rabi’ul Akhir 1423 H. 15 Ju1i 2002 M
KOMISI FATWA MAKLIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
K.H. MA’RUF AMIN
Sekretaris,
DRS. HASANUDIN, S.Ag.
2.
PENDAPAT MENURUT 4 MADZHAB
Kebanyakan orang beranggapan bahwa
kepiting itu termasuk yang diharamkan, karena dianggap sebagai hewan yang hidup
di dua alam (barma’i). Padahal tentang hukum hewan barma’i itu sendiri termasuk
masalah yang diperdebatkan (masalah khilafiyah), suatu masalah yang tidak bisa
dijatuhkan hukum yang qath’i (mutlak).
Sebelum berbicara mengenai hukum barma’i, sebenarnya di kalangan ahli ilmu (ulama dan ilmuwan) juga masih terdapat perbedaan pendapat, apakah kepiting itu termasuk hewan yang hidup di dua alam (barma’i) ataukah tidak. Karena ada penelitian dari sementara kalangan peneliti dan menemukan bahwa kepiting yang sering dijual orang itu bukan termasuk kelompok barma’i. Dan menurut mereka, meski ada hewan darat yang mampu bertahan di dalam air, belum tentu dia termasuk barma’i. Dan sebaliknya, bila ada hewan air yang mampu bertahan hidup di darat, belum tentu juga dia bisa digolongkan sebagai barma’i. Lalu penelitian ini menyimpulkan bahwa kepiting yang dijual sebagai makanan lezat itu bukanlah termasuk kelompok barma’i (hidup di dua alam), sehingga oleh mereka kepiting ini dianggap halal.
Sedangkan masalah terkait hukum hewan yang hidup di dua alam atau disebut hewan barma`i itu sendiri, merupakan masalah khilafiyah sehingga tidak bisa dijatuhi hukum haram secara mutlak. Hewan barma’i seperti kodok, kura-kura, ular, buaya, anjing laut dan sejenisnya, para pengikut ulama madzhab yang empat berbeda pendapat menjadi tiga :
1. Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyyah
Dua madzhab ini berpendapat bahwa hewan ini (kepiting) tidak boleh dimakan. Karena dianggap termasuk katagori khabaits (hewan yang kotor). Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah bahwa Rasulullah SAW mengharamkan untuk membunuh kodok. Seandainya boleh dimakan, maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad, Ishaq, Al Hakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi.
Dalam kitab Bulughul Maram bab Makanan-makanan disebutkan hadits ini. ”Dari Abdurrahman bin ’Utsman al-Quraisyiy-yi bahwasannya seorang thabib bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang ia campurkan di dalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, disahkan oleh Hakim. Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dan Nasa’i)
Silahkan periksa juga Al-Lubab Syarhil Kitab jilid 3 halaman 230, Takmilatul Fathi jilid 8 halaman 62, Mughni Al-Muhtaj jilid 4 halaman 298 dan kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 250.
2. Al-Malikiyah
Mereka berpendapat bahwa memakan kodok, serangga, kura-kura dan kepiting hukumnya boleh selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkannya. Dan mengkategorikan hewan-hewan itu sebagai khabaits (kotor) tidak bisa dengan standar masing-masing individu, karena pasti akan bersifat subjektif. Ada orang yang tidak merasa bahwa hewan itu menjijikkan (kotor) dan juga ada yang sebaliknya. Sehingga untuk mengharamkannya tidak cukup dengan itu, tapi harus ada nash yang jelas. Dan menurut Al-Malikiyah, tidak ada nash yang melarang secara tegas memakan hewan-hewan itu.
Silahkan periksa kitab Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 656 dan kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 172.
3. Al-Hanabilah
Sedangkan para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membedakan masalahnya. Bahwa semua hewan yang laut yang bisa hidup di darat tidak halal dimakan kecuali dengan jalan menyembelihnya terlebih dahulu, contohnya yakni burung air, kura-kura dan anjing laut. Kecuali bila hewan itu tidak punya darah seperti kepiting, maka tidak perlu menyembelih.
Kepiting menurut Imam Ahmad bin Hanbal boleh dimakan karena sebagai binatang laut yang bisa hidup di darat, kepiting tidak punya darah, sehingga tidak butuh disembelih. Sedangkan bila hewan dua alam itu punya darah, maka untuk memakannya wajib dengan cara menyembelihnya.
Silahkan periksa kitab Al-Mughni jilid 8 halaman 606 dan kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 6 halaman 202.
Sebelum berbicara mengenai hukum barma’i, sebenarnya di kalangan ahli ilmu (ulama dan ilmuwan) juga masih terdapat perbedaan pendapat, apakah kepiting itu termasuk hewan yang hidup di dua alam (barma’i) ataukah tidak. Karena ada penelitian dari sementara kalangan peneliti dan menemukan bahwa kepiting yang sering dijual orang itu bukan termasuk kelompok barma’i. Dan menurut mereka, meski ada hewan darat yang mampu bertahan di dalam air, belum tentu dia termasuk barma’i. Dan sebaliknya, bila ada hewan air yang mampu bertahan hidup di darat, belum tentu juga dia bisa digolongkan sebagai barma’i. Lalu penelitian ini menyimpulkan bahwa kepiting yang dijual sebagai makanan lezat itu bukanlah termasuk kelompok barma’i (hidup di dua alam), sehingga oleh mereka kepiting ini dianggap halal.
Sedangkan masalah terkait hukum hewan yang hidup di dua alam atau disebut hewan barma`i itu sendiri, merupakan masalah khilafiyah sehingga tidak bisa dijatuhi hukum haram secara mutlak. Hewan barma’i seperti kodok, kura-kura, ular, buaya, anjing laut dan sejenisnya, para pengikut ulama madzhab yang empat berbeda pendapat menjadi tiga :
1. Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyyah
Dua madzhab ini berpendapat bahwa hewan ini (kepiting) tidak boleh dimakan. Karena dianggap termasuk katagori khabaits (hewan yang kotor). Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah bahwa Rasulullah SAW mengharamkan untuk membunuh kodok. Seandainya boleh dimakan, maka tidak akan dilarang untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad, Ishaq, Al Hakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi.
Dalam kitab Bulughul Maram bab Makanan-makanan disebutkan hadits ini. ”Dari Abdurrahman bin ’Utsman al-Quraisyiy-yi bahwasannya seorang thabib bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang ia campurkan di dalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, disahkan oleh Hakim. Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dan Nasa’i)
Silahkan periksa juga Al-Lubab Syarhil Kitab jilid 3 halaman 230, Takmilatul Fathi jilid 8 halaman 62, Mughni Al-Muhtaj jilid 4 halaman 298 dan kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 250.
2. Al-Malikiyah
Mereka berpendapat bahwa memakan kodok, serangga, kura-kura dan kepiting hukumnya boleh selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkannya. Dan mengkategorikan hewan-hewan itu sebagai khabaits (kotor) tidak bisa dengan standar masing-masing individu, karena pasti akan bersifat subjektif. Ada orang yang tidak merasa bahwa hewan itu menjijikkan (kotor) dan juga ada yang sebaliknya. Sehingga untuk mengharamkannya tidak cukup dengan itu, tapi harus ada nash yang jelas. Dan menurut Al-Malikiyah, tidak ada nash yang melarang secara tegas memakan hewan-hewan itu.
Silahkan periksa kitab Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 656 dan kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 172.
3. Al-Hanabilah
Sedangkan para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membedakan masalahnya. Bahwa semua hewan yang laut yang bisa hidup di darat tidak halal dimakan kecuali dengan jalan menyembelihnya terlebih dahulu, contohnya yakni burung air, kura-kura dan anjing laut. Kecuali bila hewan itu tidak punya darah seperti kepiting, maka tidak perlu menyembelih.
Kepiting menurut Imam Ahmad bin Hanbal boleh dimakan karena sebagai binatang laut yang bisa hidup di darat, kepiting tidak punya darah, sehingga tidak butuh disembelih. Sedangkan bila hewan dua alam itu punya darah, maka untuk memakannya wajib dengan cara menyembelihnya.
Silahkan periksa kitab Al-Mughni jilid 8 halaman 606 dan kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 6 halaman 202.
3. ANALISIS
Ibnu Hajar
berkata :
فعند الحنفية وهو قول الشافعية يحرم ما عدا السمك
واحتجوا عليه بهذا الحديث
Menurut mazhab hanafi dan
pendapat ulama madzhab Syafii selain ikan tetap di haramkan .Mereka berpegangan kepada hadis ikan
besar yang pernah di makan sahabat sbb :
Jabir ra berkata :
وَزَوَّدَنَا جِرَابًا
مِنْ تَمْرٍ لَمْ يَجِدْ لَنَا غَيْرَهُ فَكَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ يُعْطِينَا
تَمْرَةً تَمْرَةً قَالَ فَقُلْتُ كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ بِهَا قَالَ
نَمَصُّهَا كَمَا يَمَصُّ الصَّبِيُّ ثُمَّ نَشْرَبُ عَلَيْهَا مِنَ الْمَاءِ
فَتَكْفِينَا يَوْمَنَا إِلَى اللَّيْلِ وَكُنَّا نَضْرِبُ بِعِصِيِّنَا الْخَبَطَ
ثُمَّ نَبُلُّهُ بِالْمَاءِ فَنَأْكُلُهُ قَالَ وَانْطَلَقْنَا عَلَى سَاحِلِ
الْبَحْرِ فَرُفِعَ لَنَا عَلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ كَهَيْئَةِ الْكَثِيبِ الضَّخْمِ
فَأَتَيْنَاهُ فَإِذَا هِيَ دَابَّةٌ تُدْعَى الْعَنْبَرَ قَالَ قَالَ أَبُو
عُبَيْدَةَ مَيْتَةٌ ثُمَّ قَالَ لَا بَلْ نَحْنُ رُسُلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدِ اضْطُرِرْتُمْ فَكُلُوا
قَالَ فَأَقَمْنَا عَلَيْهِ شَهْرًا وَنَحْنُ ثَلَاثُ مِائَةٍ حَتَّى سَمِنَّا
قَالَ وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا نَغْتَرِفُ مِنْ وَقْبِ عَيْنِهِ بِالْقِلَالِ
الدُّهْنَ وَنَقْتَطِعُ مِنْهُ الْفِدَرَ كَالثَّوْرِ أَوْ كَقَدْرِ الثَّوْرِ
فَلَقَدْ أَخَذَ مِنَّا أَبُو عُبَيْدَةَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَأَقْعَدَهُمْ
فِي وَقْبِ عَيْنِهِ وَأَخَذَ ضِلَعًا مِنْ أَضْلَاعِهِ فَأَقَامَهَا ثُمَّ رَحَلَ
أَعْظَمَ بَعِيرٍ مَعَنَا فَمَرَّ مِنْ تَحْتِهَا وَتَزَوَّدْنَا مِنْ لَحْمِهِ
وَشَائِقَ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ هُوَ رِزْقٌ أَخْرَجَهُ
اللَّهُ لَكُمْ فَهَلْ مَعَكُمْ مِنْ لَحْمِهِ شَيْءٌ فَتُطْعِمُونَا قَالَ
فَأَرْسَلْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ
فَأَكَلَهُ *
Rasulullah SAW
memberi bekal kurma sekantong kulit , tiada makanan lainnya . Abu
Ubaidah memberikan satu kurma – satu kurma .
Perawi berkata : “
Bagaimana kamu bisa berbuat dengannya ?
Jabir berkata :
Kita menyesapnya seperti bayi menyesap , lalu kita minum
air . Kita sudah cukup dengannya sampai malam. Kita memukul
dedaunan yang jatuh dengan tongkat kita ,lalu kita basahi dengan air lalu kita
makan.
Kita pergi ke
pantai , lalu dipantai ada ikan anbar laksana undukan pasir
besar.
Abu Ubaidah berkata
: “Ikan itu sudah membangkai , Tapi kita menjadi utusan
Rasulullah SAW dalam keadaan darurat di dalam sabilillah ,kita
makan saja.
Kita bertempat disitu
satu bulan ,kita berjumlah tiga ratus orang hingga kita gemuk. Kita
menciduk minyak dari lobang matanya dengan bejana ( tempayan ) , Kita
potong daging nya ,kita rebus lalu kita dinginkan sebesar sapi .
Abu Ubaidah mengambil
tiga belas lelaki diantara kita ,lalu didudukkan di lobang matanya ,lalu
mengambil tulang rusuknya , didirikan , lalu unta paling
besar lewat dibawahnya . Kita bikin dendeng daging untuk bekal kita
.Ketika sampai di medinah , kita datang kepada Rasulullah SAW ,lalu kita
sebutkan hal itu kepadanya .
Beliau bersabda :
Ia adalah rizqi yang di keluarkan oleh Allah untukmu . Apakah kamu punya
dagingnya , dan kami makan padanya .lalu kita berikan kepada Rasulullah
SAW dan beliau memakannya . [2]
Imam Muhibbud din
Thobari , lahir 224 , wafat 310 berkata :
والثعبان والعقرب والسرطان والسلحفاة للاستخباث
والضرر اللاحق من السم
Ular ,kalajengking ,
kepiting kura kura adalah haram karena buruk
dan racunnya yang membahayakan .[3]
Bila
kepiting termasuk buruk , maka layak di haramkan karena ada ayat :
وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk[4]
Pendapat diatas berlainan dengan pendapat imam Ahmad sebagai berikut :
Pendapat diatas berlainan dengan pendapat imam Ahmad sebagai berikut :
قال أحمد السرطان لا بأس به
قيل له يذبح قال لا وذلك لأن مقصود الذبح إنما هو إخراج الدم منه وتطييب اللحم
بإزالته عنه فما لا دم فيه لا حاجة إلى ذبحه
Imam Ahmad , wafat
tahun 241 H. berkata :” Kepiting boleh ,lalu di katakan kepadanya : “
Apakah di sembelih ? “.
Beliau menjawab
:”Tidak , karena maksud pemotongan adalah mengeluarkan darah dan melezatkan
daging . Selama kepiting tidak memiliki darah , tidak perlu dipotong [5]
Namun yang perlu kita
perhatikan bahwa Pernyataan tersebut diatas merupakan pendapat pribadi Imam
Ahmad dan beliau tidak mengetengahkan dalil dan Ia bertentangan dengan
pendapat ulama syafiiyah.
Ahmad bin Ali bin Hajar Alasqalani , wafat 852 berkata :
حديث أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن
بيع السرطان لم أجده
Abdullah bin Yusuf Abu
Muhammad Al hanafi Azzaila`i , wafat 762 berkata :
الحديث الثالث والعشرون روي أنه عليه السلام نهى
عن بيع السرطان قلت غريب جدا
Hadis ke 23 ,
diriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang jual beli kepiting . Aku
berkata : “sangat nyeleneh “. [7]
Dari pendapat - pendapat diatas bisa disimpulkan
bahwa masalah kepiting adalah hilafiyah , oleh sebab itu, jalan
keluarnya ialah kita perlu kembali kepada Allah sebagaimana ayat :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[8]
Keterangan
penghalalan kepiting secara tegas dalam al Quran tidak ada , tapi ada ayat yang
mengharamkan khobits (buruk) dan kepiting menurut Imam Muhibbud din Thobari
termasuk khobits tersebut, sehingga jelas hukumnya adalah haram.
Sementara dalam hadis juga tidak ada yang memperkenankan memakan kepiting secara tegas dan lugas. Secara kenyataan para Rasulullah mulai Nabi Adam sampai Nabi Muhammad , dan para sahabatnya tidak kami jumpai keterangan hadis bahwa mereka pada suatu saat pernah makan kepiting . Padahal kita diperintahkan untuk makan sebagaimana makanan para Rasulullah. Dalam suatu hadis dijelaskan :
Sementara dalam hadis juga tidak ada yang memperkenankan memakan kepiting secara tegas dan lugas. Secara kenyataan para Rasulullah mulai Nabi Adam sampai Nabi Muhammad , dan para sahabatnya tidak kami jumpai keterangan hadis bahwa mereka pada suatu saat pernah makan kepiting . Padahal kita diperintahkan untuk makan sebagaimana makanan para Rasulullah. Dalam suatu hadis dijelaskan :
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ
اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ
الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ) وَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ )
Wahai manusia
! Sesungguhnya Allah baik tidak akan menerima kecuali
yang baik . Dan sesungguhnya Allah memerintah kaum mukminin
sebagaimana para Rasul , lalu berfirman : Hai rasul-rasul, makanlah
dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Al mukminun 51 )
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. (
Al Baqarah 172 )[9]
Berdasarkan dalil-dalil
diatas, maka Saya lebih condong untuk mengharamkan kepiting.
Seumpamapun derajatnya
tidak sampai pada haram, maka masalah kepiting termasuk dalam wilayah Subhat (tidak jelas dan diperselisihkan halal
haramnya) , maka layak sekali untuk di hindari. Sebagaimana firman Allah SWT :
الْحَلَالُ بَيِّنٌ
وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ
النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ
وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ
الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا
وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
Perkara halal adalah
jelas dan haram juga jelas . Dan diantara halal dan haram itu
terdapat perkara subhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya . Barang
siapa berhati – hati dari perkara subhat , sungguh telah membersihkan diri
untuk agama dan kehormatannya. Barang siapa yang jatuh ke dalam
subhat , akan jatuh juga kedalam keharaman laksana pengembala yang mengembala
di sekitar tanah larangan akan mengembala di dalamnya . Ingat ! Setiap raja
mempunyai tanah larangan . Ingat ! Sesungguhnya tanah larangan Allah adalah
keharamanNya .[10]
Paling fatal lagi biasanya kepiting di masak
dengan tahinya , pada hal tahi itu kotor banget dan najis . Untuk apakah
kita makan kepiting bila masih ada ikan .
wallahu a'lam bish showab
-------------
[1] Mu`jamul buldan 381/2 .
[4] Al A`raf 157
[5] Al Mughni 337/9
[6] Addiroyah fii takhriji ahadisil hidayah 212/1
[8] Annisa` 59
[9] HR Muslim / Zakat / 1015. Tirmidzi / Tafsir / 2989.
Ahmad / Baqi musnad muktsirin/8149. Darimi / Raqaq / 2718
[10] Hr Bukhori / Iman / 52. Muslim / Musaqat / 1599. Tirmizi /
Buyu`/ 1205. Nasai/ Asyribah /4453. –5710. Abu dawud / Buyukl/ 3329. Ibnu Majah
/ Fitan / 3984. Ahmad / Musnad kufiyyin / 17883
Tidak ada komentar:
Posting Komentar