Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara
dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya.
“Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah
murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil.
Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan
mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada
saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang.
Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa
tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan
kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa
kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada
Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya,
ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju
tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke
kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya
lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan
Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan
kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit
ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada
jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal
pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan,
Bangkalan Madura ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya.
Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh
sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya.
Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu
Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits
Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian
ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai
daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan
santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak
sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama
kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH.
R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah
beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan
pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis
buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber
ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak
heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru
besar) kepada Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan
Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang
berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa
pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan
penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik
haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas
(penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3
bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin,
karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya
kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya
itu.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya,
Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh
ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga
menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar
itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH
Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah,
Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran
Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi
proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar
Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari
Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di
Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.
Ide reformasi Abduh itu ialah
Pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam
dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.
Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas;
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern;
keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat
memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial,
politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat
Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab
dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh,
walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika
kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya
adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian
dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan
kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri
dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk
memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa
mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem
mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti
buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua
bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan
tarekat.
Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara
golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok
tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis,
sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya
adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu
diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk
dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung
(di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya
tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini
kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab
Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada
penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31
Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan
ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian
kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi
partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga
pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di
Indonesia.
Keturunan Raja Pajang
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari
l871 Masehi, Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu,
Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias
Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai.
Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang.
Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada
di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan
dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan
Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil
sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar
santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim
meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren
ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo,
Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi
Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang
dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan
Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren
Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim
merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal
sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama
–lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub
sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim
bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun,
dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah
menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah
haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan
anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak
itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air,
Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia
mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan
juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari
dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia
memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan
menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim
menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri
Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu
Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim,
Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar