Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan
ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan
Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4
Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah
kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September
1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil.
“Addakhil” berarti “Sang Penakluk”.[2] Kata “Addakhil” tidak cukup
dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus
Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang
anak kiai yang berati “abang” atau “mas“.[2]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam
bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas
Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri
Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri,
adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan[3].
Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi
Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok
Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia
memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan
dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah
(Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[4][5] Tan A Lok dan Tan Eng
Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir
Raden Brawijaya V.[5] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan
penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan
sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.[5]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke
Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan
tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada
di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang
tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD
Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan
koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[6]. Gus Dur terus
tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi
menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia
akibat kecelakaan mobil.
KH. A. Mustofa
Bisri,
KH.
A. Mustofa Bisri, kini Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin Leteh
Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU.
Dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Belajar di Pondok Pesantren Lirboyo
Kediri, Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, dan Universitas Al-Azhar Kairo, disamping
di pesantren ayahnya sendiri, Raudlatuth Tholibin Rembang.
Disamping
budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair. Karya-karyanya yang telah
diterbitkan, antara lain, Dasar-dasar
Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H),
Ensklopedi Ijma’
(terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia
(gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa’aadah
(terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa,
Penerbit Al-Huda Temanggung), Ohoi,
Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta,
1991,1994), Tadarus,
Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993), Mutiara-mutiara Benjol
(Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor
dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus
(kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Mahakiai Hasyim Asy’ari
(terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali
(tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996), Saleh Ritual Saleh Sosial
(Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995), Pesan Islam Sehari-hari
(Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna
(Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997).
dan juga Fikih Keseharian
(Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya,
Juli 1997).
,
kini Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin Leteh Rembang dan menjadi
Rais Syuriah PBNU. Dilahirkan di Rembang, 10
Agustus 1944. Belajar di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta, dan Universitas Al-Azhar
Kairo, disamping di pesantren ayahnya sendiri, Raudlatuth Tholibin Rembang.
Disamping
budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair. Karya-karyanya yang telah
diterbitkan, antara lain, Dasar-dasar
Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H),
Ensklopedi Ijma’
(terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia
(gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa’aadah
(terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa,
Penerbit Al-Huda Temanggung), Ohoi,
Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta,
1991,1994), Tadarus,
Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993), Mutiara-mutiara Benjol
(Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor
dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus
(kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Mahakiai Hasyim Asy’ari
(terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali
(tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996), Saleh Ritual Saleh Sosial
(Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995), Pesan Islam Sehari-hari
(Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna
(Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997).
dan juga Fikih Keseharian
(Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya,
Juli 1997).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar